Selesai 2013
Tanah Teduh adalah semacam kawasan perumahan yang master plan
beserta seluruh rancangan ruang-ruangnya dilakukan oleh arsitek Andra Matin.
Sembilan arsitek lain kemudian diberi kesempatan untuk terlibat dengan
merancang satu rumah masng-masing. Kebetulan saya adalah salah satu yang
diantara yang diundang untuk terlibat dan mendapatkan merancang unit #4. Brief
dari rancangan kawasan ini ada pada seputar persoalan ‘green building’ atau
rancangan yang ramah lingkungan.
Kompleks Tanah Teduh yang tertangkap Google Earth Februari 2012 dan Tanah Teduh #4 |
Tidak berani membayangkan sebelumnya bahwa konsepsi ini akan
terbangun. Dan lebih tidak menangka llagi ada yang mau membeli unit ini dari developer yang
membangunnya. Bagaimana tidak – setelah melalui proses tarik ulur yang lebih
dari sepuluh skema, pada akhirnya bangunan kayu ini memperoleh sebuah titik
temu. Di masa sekarang, menghindari bangunan kayu adalah hal yang sangat wajar.
Persoalan keawetan, harga bangunan, bahaya rayap dan kebakaran, serta
pertanyaan-pertanyaan praktis yang lain adalah hal yang akan segera terlontar.
Pertanyaan paling besar di awal proses perancangan adalah : Apakah penggunaan
kayu merupakan tindakan ramah lingkungan?
Tetangga di kiri dan kanan terpaksa terlihat kontras karena konsepsi penggunaan bahan kayu ini. |
Persoalan penggunaan kayu pada ujungnya adalah persoalan pengelolaan
sumbernya yaitu hutan. Berdasarkan data volume hutan produksi yang ada di
Indonesia, kebutuhan perumahan sebesar 700.000 unit setiap tahun, ternyata bisa dipenuhi dengan hutan yang
berkelanjutan dalam hutan produksi tadi. Sedangkan dari sudut pandang enerji
terkandung material, kayu memiliki enerji terkandung kurang dari separuh
material beton, kurang dari sepertiga material bata, dan kurang dari 1%
material baja. Disamping itu kayu adalah material yang bisa diperbarui sumbernya.
Dari sini bisa dibayangkan penghematan emisi CO2 yang dikeluarkan akibat
pemilihan bahan bangunan. Jika saja teknologi pengolahan bahan sudah mencapai
tataran tertentu yang bisa menjadikan kayu awet dan mempunyai struktur kekuatan
yang lebih homogen, bukan sekedar mimpi jika kayu akan menjadi material masa
depan – bukan masa lalu.
Dalam kerangka inilah konsepsi Tanah Teduh #4 diajukan. Akan
tetapi material kayu yang diusulkan bukanlah kayu dari hutan produksi mengingat
dalam hal ini Negara kita masih harus membenahi tata kelola hutan terlebih
dahulu. Kayu yang diusulkan adalah kayu non hutan yaitu kayu perkebunan dan
kayu bekas. Kayu bekas tidak bisa sepenuhnya kita andalkan kecuali kayu-kayu
yang memang tahan air dan mampu berusia ratusan tahun seperti kayu ulin
misalnya. Kendalanya adalah sumbernya sangat terbatas. Sedangkan kayu
perkebunan mempunyai peluang yang cukup besar untuk dilihat mengingat
perkebunan selalu membutuhkan peremajaan untuk pohon-pohon yang tidak
produktif lagi. Luas perkebunan kelapa
dan karet di Indonesia adalah yang
paling besar di dunia sampai dengan saat ini.
View dari arah masuk ke Unit #4 |
Usulan pertama Tanah Teduh #4 adalah bangunan dari kayu
kelapa yang segera saja ditolak. Mulailah proses tarik ulur yang panjang dengan
mengganti material yang sudah dijadikan standar di kawsan Tanah Teduh yaitu
bata dan beton. Berbagai skema dicoba akan tetapi saya tidak cukup merasa puas
karena isu kayu ini adalah hal yang cukup penting untuk diibicarakan. Akhirnya
tanpa di sengaja ditemui sebuah dermaga dari kayu ulin di Samarinda yang sedang
dibongkar. Dari sinilah usulan penggunaan kayu bisa diterima. Dengan sebuah
pelelangan yang resmi, diperolehlah sejumlah kayu yang diperkirakan cukup untuk
memenuhi kebutuhan. Kayu bekas dermaga ini dipakai sebagai struktur bangunan
tiga lantai beserta kulit luarnya.
Konstruksi rumah kayu tiga lantai adalah hal yang biasa
terjadi di Samarinda dan kota-kota Kalimantan lainnya. Akan tetapi, rumah-rumah
ini sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan rumah bata dan beton. Hal ini entah
dikarenakan sumber kayu untuk bangunan sudah tidak ada lagi atau rumah kayu
bukanlah suatu simbol kemodernan. Dalam arah yang sebaliknya, Tanah Teduh #4
sedang berusaha membicarakan bahwa peluang masa depan adalah apa yang telah
dianggap masa lalu.
Kontras material interior kayu karet dan struktur kayu ulin bekas dermaga |
Penampilan kayu ulin yang kasar ini tidaklah cukup nyaman
secara psikologis maupun fungsional jika dipertemukan dengan pengguna orang
kota dan peralatan rumah tangga yang baru. Untuk itu sebagai interior
diperlukan suatu material yang lebih halus. Kebetulan kayu karet olahan adalah
bahan yang tidak bisa dipakai sebagai eksterior. Pemakaian kayu karet sebagai
interior akan memberikan kontras yang semakin menguatkan karakteristik kayu
masing-masing.
Secara singkat, proyek Tanah Teduh #4 ini berusaha
memberikan sebuah gambaran tentang betapa kaya alam Indonesia. Apabila
pengelolaan dilakukan dengan baik dan adil, niscaya kata ‘ramah lingkungan’ atau
‘green’ yang sering kita dengan akhir-akhir ini bukanlah menjadi jargon atau
gimmick semata. Sedangkan arsitektur bisa mengambil peran sebagai alat untuk
menyambut suatu visi yang jauh di depan. Proyek ini hanyalah sebuah provokasi
atau ajakan untuk penelitian lebih jauh terhadap material kayu sebagai alternative
masa depan material bangunan di Indonesia.
Tangga kayu karet yang diletakkan pada posisi selalu bisa melihat eksterior rumah sebelum masuk kembali ke dalam |
Arsitek : Adi Purnomo
Team : Dani Wicaksono (skema awal sampai ke sepuluh)
Menarik sekali mas mamo tentang kandungan energi itu. Saya mau konfirmasi, yang dimaksud apakah energi pembuatannya (effort), atau kandungan energi (fuel, sebagai bahan bakar)? Kalo boleh tau berapa per m biaya konstruksinya mas?
ReplyDeletesaya senang sekali dengan tanah teduh , walaupun saya hanya melihat dari luar saja , membuat saya terbayang bayang akan keindahan rumah tersebut . MENARIK!!!
ReplyDelete