Monday, August 12, 2013

Tanah Teduh #4

Selesai 2013

Tanah Teduh adalah semacam kawasan perumahan yang master plan beserta seluruh rancangan ruang-ruangnya dilakukan oleh arsitek Andra Matin. Sembilan arsitek lain kemudian diberi kesempatan untuk terlibat dengan merancang satu rumah masng-masing. Kebetulan saya adalah salah satu yang diantara yang diundang untuk terlibat dan mendapatkan merancang unit #4. Brief dari rancangan kawasan ini ada pada seputar persoalan ‘green building’ atau rancangan yang ramah lingkungan.

Kompleks Tanah Teduh yang tertangkap Google Earth Februari 2012 dan Tanah Teduh #4














Tidak berani membayangkan sebelumnya bahwa konsepsi ini akan terbangun. Dan lebih tidak menangka llagi ada yang mau  membeli unit ini dari developer yang membangunnya. Bagaimana tidak – setelah melalui proses tarik ulur yang lebih dari sepuluh skema, pada akhirnya bangunan kayu ini memperoleh sebuah titik temu. Di masa sekarang, menghindari bangunan kayu adalah hal yang sangat wajar. Persoalan keawetan, harga bangunan, bahaya rayap dan kebakaran, serta pertanyaan-pertanyaan praktis yang lain adalah hal yang akan segera terlontar. Pertanyaan paling besar di awal proses perancangan adalah : Apakah penggunaan kayu merupakan tindakan ramah lingkungan?

Tetangga di kiri dan kanan terpaksa terlihat kontras karena konsepsi penggunaan bahan kayu ini.


Persoalan penggunaan kayu pada ujungnya adalah persoalan pengelolaan sumbernya yaitu hutan. Berdasarkan data volume hutan produksi yang ada di Indonesia, kebutuhan perumahan sebesar 700.000 unit setiap  tahun, ternyata bisa dipenuhi dengan hutan yang berkelanjutan dalam hutan produksi tadi. Sedangkan dari sudut pandang enerji terkandung material, kayu memiliki enerji terkandung kurang dari separuh material beton, kurang dari sepertiga material bata, dan kurang dari 1% material baja. Disamping itu kayu adalah material yang bisa diperbarui sumbernya. Dari sini bisa dibayangkan penghematan emisi CO2 yang dikeluarkan akibat pemilihan bahan bangunan. Jika saja teknologi pengolahan bahan sudah mencapai tataran tertentu yang bisa menjadikan kayu awet dan mempunyai struktur kekuatan yang lebih homogen, bukan sekedar mimpi jika kayu akan menjadi material masa depan – bukan masa lalu.

Dalam kerangka inilah konsepsi Tanah Teduh #4 diajukan. Akan tetapi material kayu yang diusulkan bukanlah kayu dari hutan produksi mengingat dalam hal ini Negara kita masih harus membenahi tata kelola hutan terlebih dahulu. Kayu yang diusulkan adalah kayu non hutan yaitu kayu perkebunan dan kayu bekas. Kayu bekas tidak bisa sepenuhnya kita andalkan kecuali kayu-kayu yang memang tahan air dan mampu berusia ratusan tahun seperti kayu ulin misalnya. Kendalanya adalah sumbernya sangat terbatas. Sedangkan kayu perkebunan mempunyai peluang yang cukup besar untuk dilihat mengingat perkebunan selalu membutuhkan peremajaan untuk pohon-pohon yang tidak produktif  lagi. Luas perkebunan kelapa dan karet di Indonesia adalah yang  paling besar di dunia sampai dengan saat ini.

View dari arah masuk ke Unit #4













Usulan pertama Tanah Teduh #4 adalah bangunan dari kayu kelapa yang segera saja ditolak. Mulailah proses tarik ulur yang panjang dengan mengganti material yang sudah dijadikan standar di kawsan Tanah Teduh yaitu bata dan beton. Berbagai skema dicoba akan tetapi saya tidak cukup merasa puas karena isu kayu ini adalah hal yang cukup penting untuk diibicarakan. Akhirnya tanpa di sengaja ditemui sebuah dermaga dari kayu ulin di Samarinda yang sedang dibongkar. Dari sinilah usulan penggunaan kayu bisa diterima. Dengan sebuah pelelangan yang resmi, diperolehlah sejumlah kayu yang diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan. Kayu bekas dermaga ini dipakai sebagai struktur bangunan tiga lantai beserta kulit luarnya.

Konstruksi rumah kayu tiga lantai adalah hal yang biasa terjadi di Samarinda dan kota-kota Kalimantan lainnya. Akan tetapi, rumah-rumah ini sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan rumah bata dan beton. Hal ini entah dikarenakan sumber kayu untuk bangunan sudah tidak ada lagi atau rumah kayu bukanlah suatu simbol kemodernan. Dalam arah yang sebaliknya, Tanah Teduh #4 sedang berusaha membicarakan bahwa peluang masa depan adalah apa yang telah dianggap masa lalu.

Kontras material interior kayu karet dan struktur kayu ulin bekas dermaga

























Penampilan kayu ulin yang kasar ini tidaklah cukup nyaman secara psikologis maupun fungsional jika dipertemukan dengan pengguna orang kota dan peralatan rumah tangga yang baru. Untuk itu sebagai interior diperlukan suatu material yang lebih halus. Kebetulan kayu karet olahan adalah bahan yang tidak bisa dipakai sebagai eksterior. Pemakaian kayu karet sebagai interior akan memberikan kontras yang semakin menguatkan karakteristik kayu masing-masing.

Secara singkat, proyek Tanah Teduh #4 ini berusaha memberikan sebuah gambaran tentang betapa kaya alam Indonesia. Apabila pengelolaan dilakukan dengan baik dan adil, niscaya kata ‘ramah lingkungan’ atau ‘green’ yang sering kita dengan akhir-akhir ini bukanlah menjadi jargon atau gimmick semata. Sedangkan arsitektur bisa mengambil peran sebagai alat untuk menyambut suatu visi yang jauh di depan. Proyek ini hanyalah sebuah provokasi atau ajakan untuk penelitian lebih jauh terhadap material kayu sebagai alternative masa depan material bangunan di Indonesia.

Tangga kayu karet yang diletakkan pada posisi selalu bisa melihat eksterior rumah sebelum masuk kembali ke dalam

























Arsitek : Adi Purnomo
Team : Dani Wicaksono (skema awal sampai ke sepuluh)

2 comments:

  1. Menarik sekali mas mamo tentang kandungan energi itu. Saya mau konfirmasi, yang dimaksud apakah energi pembuatannya (effort), atau kandungan energi (fuel, sebagai bahan bakar)? Kalo boleh tau berapa per m biaya konstruksinya mas?

    ReplyDelete
  2. saya senang sekali dengan tanah teduh , walaupun saya hanya melihat dari luar saja , membuat saya terbayang bayang akan keindahan rumah tersebut . MENARIK!!!

    ReplyDelete