Galeri Kelapa Gading (2012)
mamostudio
Monday, August 19, 2013
Thursday, August 15, 2013
Semua Pintu
2011
Semua Pintu adalah judul instalasi arsitektur untuk sebuah pameran '1001 Pintu' di Jakarta. Pameran ini mengundang 101 peserta mulai dari seniman, desainer dan arsitek. Saya mencoba membebaskan diri dari definisi tentang instalasi arsitektur karena yang ingin saya sampaikan adalah sesuatu yang bersifat abstrak. Bagaimana mewujudkannya ketika dia masih harus terikat material dan struktur untuk terbangun?
Immaterialitas adalah hal yang saya bayangkan karena pintu ini bersifat spiritual. Seperti halnya suatu perasaan yang sulit sekali untuk diungkapkan. Gagasan ini tidak bisa diperlihatkan sebagai gambar arsitektural. Sayang hanya sebuah telepon genggam yang merekam instalasi ini pada saat pembukaan pameran. Instalasi ini hanyalah gambaran akan suatu ke-nirwujud-an yang ternyata bisa didekati dan berinteraksi dengan kehidupan kita.
Berikut adalah penggalan teks katalog pameran yang telah diedit ulang.
Adi Purnomo untuk 1001 Pintu
Judul : semua
pintu
Medium : senar, bambu, bakiak
Ukuran :
1,4 x 7 x 3 m
Pintu?
Jalan ‘pencarian’ selalu misterius. Kadang seperti menemui pintu terkunci.
Sering berputar-putar sendiri tak menentu disitu. Seolah menemui kebuntuan, menemui pintu
terkunci berulang-ulang. Tapi ternyata pintu itu mungkin hanya pikiran kita
saja. Pikiran yang begitu ramai di dalam dunia yang ramai. Tidak pernah ada pintu
yang menutup. Tidak ada pintu itu. Semua adalah pintu.
mencarimu dalam ingatanMu
mengingatmu dalam pencarianMu
mengetukNya dalam tiadanya
tabir itu hanya ketakutanku
mu …Mu …nya …Nya ....
tidak ada pintu itu
semua adalah pintu
semua pintu
Kantor Sementara BHC
Selesai 2009.
Jika tidak salah kutip, sejarah pernah mencatat Semarang sebagai kota terbesar di Asia Tenggara. Setidaknya bisa dibayangkan kota ini pernah punya peran penting pada masanya. Tidak mengherankan jika Semarang kental dengan bangunan peninggalan masa kolonial Belanda dalam berbagai skala. Namun begitu, sampai sekarang perhatian pada isu ini tidak menjadi kesadaran yang umum. Jika adapun, perhatian pada isu konservasi terbatas orientasinya pada bangunan atau kawasan yang dianggap penting semisal Lawang Sewu atau Kawasan Kota Lama. Padahal selain kondisi kontur kotanya, karakteristik kota Semarang yang kuat adalah banyaknya sebaran bangunan lama, besar atau kecil, penting atau dianggap tidak penting.
Ingatan akan sejarah dan ruang waktu kota itu menghilang seiring semakin banyaknya bangunan lama yang terbongkar. Beberapa usaha restoran nampak masih mempertahankan bangunan lama bekas rumah tinggal, karena dari luasan dan nilai komersialnya masih bisa setara. Tetapi tidak semua kebutuhan baru bersifat sama. Volume ruang yang jauh lebih besar serta hasrat untuk sebuah citra baru sangat lumrah terjadi. Hal inilah yang menjadi tantangan kota Semarang.
Demikian juga yang terjadi dengan kantor BHC ini. Bisnis yang berkembang membutuhkan tempat yang lebih besar dan citra baru yang kuat. Rencana semula adalah menyewa 4 ruko di jalan Gajah Mada selama 3 tahun. Sementara sebidang tanah dengan sebuah bangunan lama di jalan Mataram diproyeksikan menjadi kantor mereka yang berlantai banyak nantinya.
Bangunan lama ini sebenarnya tidak istimewa. Permasalahannya bukan pada menilai istimewa atau tidak, melainkan pada ajakan menaruh perhatian bersama yang lebih berakar terhadap isu konservasi kota. Setiap warga punya peluang untuk ikut membentuk karakter kota. Anggap saja saya sedang mengulur waktu 3 tahun, sambil memberi pandangan bahwa membangun di sisa lahan masih memungkinkan
Untuk itu perlu dipikirkan cara yang menarik perhatian pemilik yaitu soal perubahan citra. Sebuah strategi sederhana dengan menambahkan bahasa visual baru yang tidak melebihi harga sewa 4 ruko selama 3 tahun adalah tawarannya.
Bahasa visual yang baru, selain untuk penambahan ruangan baru, juga dipakai sebagai lapisan kedua bangunan lama. Lapisan ini bisa untuk menyembunyikan peralatan dan mengkondisikan pendinginan bangunan.
Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan untuk mengunjunginya lagi. Nampak jelas bahwa mereka memang berkembang pesat dan memerlukan tempat baru. Alih-alih mengkawatirkan apakah bangunan lama ini masih akan terus dipakai atau tidak, lebih baik menikmati bahasa visual yang muncul akibat intervensi disain yang baru.
Fagmentasi cahaya matahari beserta permainan difusi dan pantulan cahaya secara fungsional meneruskan cahaya matahari yang keras menjadi lebih lembut ke dalam ruangan. Sesuatu yang baru muncul dalam tumpang tindih lama-baru, masif-transparan dan terang-gelap menjadi sebuah cerita ruang terabaikan yang kembali terbangun.
Arsitek : Adi Purnomo
Tim BHC : Moment Maryadi
Jika tidak salah kutip, sejarah pernah mencatat Semarang sebagai kota terbesar di Asia Tenggara. Setidaknya bisa dibayangkan kota ini pernah punya peran penting pada masanya. Tidak mengherankan jika Semarang kental dengan bangunan peninggalan masa kolonial Belanda dalam berbagai skala. Namun begitu, sampai sekarang perhatian pada isu ini tidak menjadi kesadaran yang umum. Jika adapun, perhatian pada isu konservasi terbatas orientasinya pada bangunan atau kawasan yang dianggap penting semisal Lawang Sewu atau Kawasan Kota Lama. Padahal selain kondisi kontur kotanya, karakteristik kota Semarang yang kuat adalah banyaknya sebaran bangunan lama, besar atau kecil, penting atau dianggap tidak penting.
Ingatan akan sejarah dan ruang waktu kota itu menghilang seiring semakin banyaknya bangunan lama yang terbongkar. Beberapa usaha restoran nampak masih mempertahankan bangunan lama bekas rumah tinggal, karena dari luasan dan nilai komersialnya masih bisa setara. Tetapi tidak semua kebutuhan baru bersifat sama. Volume ruang yang jauh lebih besar serta hasrat untuk sebuah citra baru sangat lumrah terjadi. Hal inilah yang menjadi tantangan kota Semarang.
Demikian juga yang terjadi dengan kantor BHC ini. Bisnis yang berkembang membutuhkan tempat yang lebih besar dan citra baru yang kuat. Rencana semula adalah menyewa 4 ruko di jalan Gajah Mada selama 3 tahun. Sementara sebidang tanah dengan sebuah bangunan lama di jalan Mataram diproyeksikan menjadi kantor mereka yang berlantai banyak nantinya.
Kondisi bangunan lama sebelum renovasi |
Bangunan lama ini sebenarnya tidak istimewa. Permasalahannya bukan pada menilai istimewa atau tidak, melainkan pada ajakan menaruh perhatian bersama yang lebih berakar terhadap isu konservasi kota. Setiap warga punya peluang untuk ikut membentuk karakter kota. Anggap saja saya sedang mengulur waktu 3 tahun, sambil memberi pandangan bahwa membangun di sisa lahan masih memungkinkan
Bahas pelapis baru |
Kulit tambahan dari bahan sederhana membentuk citra baru yang berfungsi menghambat sinar matahari langsung |
Untuk itu perlu dipikirkan cara yang menarik perhatian pemilik yaitu soal perubahan citra. Sebuah strategi sederhana dengan menambahkan bahasa visual baru yang tidak melebihi harga sewa 4 ruko selama 3 tahun adalah tawarannya.
Kulit baru dan bangunan lama |
Bahasa visual yang baru, selain untuk penambahan ruangan baru, juga dipakai sebagai lapisan kedua bangunan lama. Lapisan ini bisa untuk menyembunyikan peralatan dan mengkondisikan pendinginan bangunan.
Ekspresi dari luar |
Meskipun rancangan ini adalah sebuah negosiasi arsitektur yang sangat ringkih posisinya, ada kepuasan lain yang besar yang didapat. Dengan hanya dua minggu merancang dan konstruksi 6 bulan, hasil yang didapat terasa jauh melebihi usaha yang dikeluarkan. Bahkan saya juga yakin jika dibandingkan dengan nilai sewa 4 ruko selama 3 tahun, harga konstruksi yang dikeluarkan untuk renovasi ini akan lebih rendah.
Difusi, pantulan dan efek transparan |
Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan untuk mengunjunginya lagi. Nampak jelas bahwa mereka memang berkembang pesat dan memerlukan tempat baru. Alih-alih mengkawatirkan apakah bangunan lama ini masih akan terus dipakai atau tidak, lebih baik menikmati bahasa visual yang muncul akibat intervensi disain yang baru.
Kualitas cahaya ruang antara |
Area luar |
Arsitek : Adi Purnomo
Tim BHC : Moment Maryadi
Wednesday, August 14, 2013
Sekolah Maria Regina
Selesai 2009.
Sekolah ini menempati lokasi di ujung dua buah perumahan baru yang belum memiliki fasilitas pendidikan. Lahan terletak pada sebuah ketinggian kontur di atas area perumahan tadi. Apapun yang terwujud pasti akan sangat terlihat dan mau tidak mau menanggung beban menjadi landmark. Sementara itu, luas lahan yang ada sangat terbatas 3.000 m2 dibandingkan dengan program ruang yang dikehendaki. Kebutuhan yang harus dipenuhi adalah Pra TK dan TK sebanyak 6 kelas, SD sebanyak 12 kelas dan SMP sebanyak 6 kelas. Kebutuhan pendukung adalah kelas ekstra kurikuler dan laboratorium sebangyak 6 modul kelas beserta ruang guru ruang meeting dan administrasi. Dalam hal ini, membangun secara vertikal tidak mungkin untuk dihindarkan.
Dengan besaran massa dan letak ketinggiannya, ekspresi bangunan sebaiknya sesuatu yang netral supaya tidak mendominasi lingkungan sekitar. Pola vertikal dipakai untuk 'membuang' perasaan massa yang menekan menjadi sesuatu yang tumbuh ke atas dan menggapai langit. Pola ini dipakai sebagai sirip pengarah view dan sinar matahari untuk tidak masuk secara langsung ke ruang dalam. Ketika pepohonan mulai tumbuh besar nanti, bangunan ini seolah-olah akan mempunyai energi yang sama dengan gerak tumbuh tadi. Warna bangunan dipilih mendekati warna tanah supaya tidak membuat silau dan menonjolkan diri.
Untuk itu, TK harus berada di lantai dasar guna mendapatkan aksesibilitas keluar secara langsung sehingga dalam keadaan darurat mudah dilakukan evakuasi. SD kelas 1,2 dan 3 yang berada di atasnya masih mendapatkan akses langsung keluar juga dari arah sebaliknya. Sementara SD kelas 4,5 dan 6 berada diatasnya lagi, beserta ruang fasilitas tambahan semacam laboratorium dan ruang ekstra kurikuler.
Konfigurasi yang sama dengan SD kelas 4, 5 dan 6 juga terjadi di ruang-ruang kelas untuk SMP. Karena lahan yang terbatas, lapangan upacara digantikan di lantai paling atas karena yang memerlukan lahan upacara adalah anak SD kelas 4,5,6 dan SMP. Dengan cara ini, anak-anak yang lebih besar saja yang akan memakai jalur-jalur sirkulasi vertikal.
Aksesibilitas adalah hal yang krusial dengan rancangan sekolah dengan 4 lapis lantai. Entance harus diletakkan pada tempat yang paling tepat. Entrance TK ada di bagian kontur yang lebih rendah, sedangkan entrance SD-SMP ada di sisi lain yang lebih tinggi seperti dijelaskan pada akses darurat sebelum ini. Saat ini akses masuk SD dan SMP masih cukup layak panjangnya. Sementara, di bagian TK masih terlalu pendek dari standar karena perubahan yang dilakukan saat konstruksi. Entrance ini nantinya akan berpindah saat dilakukan pengembangan sehingga mendapatkan akses antrian penjemput yang cukup.
Void utama yang pada awalnya dirancang sebagai ruang luar, pada akhirnya ditutup karena hujan dengan angin membuat area sirkulasi disekitarnya menjadi basah. Dengan menyisakan lubang ventilasi yang cukup, ternyata void ini bisa menjadi generator penarik udara panas. Penutupan ini sekaligus bisa menambah area bermain indoor bagi TK dan Pra-TK.
Sirkulasi vertikal terjadi dalam tiga buah mode. Pertama adalah tangga, kedua adalah ramp dan ketiga adalah elevator untuk barang-barang. Moda sirkulasi vertikal ini hanya akan dipakai untuk area SD kelas 4,5,6 dan SMP. Sedangkan area SD kelas 1,2,3 dan TK/Pra TK tidak memerlukan sirkulasi vertikal.
Pencahayaan alami dipertimbangkan sebagai upaya penghematan biaya operasional sekolah. Ekspresi sirip vertikal mempunyai fungsi memasukkan cahaya tanpa harus memasukkan sinar secara langsung. Selain itu sirip ini juga mengurangi tingkat silau di dalam ruangan serta mengarahkan view lebih terbatas. Pada bagian yang menhadap dalam, dinding kelas tidak dibuat tinggi penuh supaya bias cahaya dari void masih membantu mencapai intensitas cahaya yang diperlukan.
Dalam segala keterbatasan pemanfaatan lahan, sifat puitik cahaya terhadap pembentukan kualitas ruang masih dilakukan. Matahari pagi yang masuk, dipakai sebagai bahasa menyambut kedatangan anak-anak untuk memulai kegiatan di sekolah ini. Sebuah hari baru akan dirasakan lebih bersemangat terlebih saat cuaca cerah.
Arsitek : Adi Purnomo
Gambar Konstruksi : Dwiatmoko (Desa Asri)
Struktur : Sentra Reka Struktur, Jakarta
M+E : Tim Tiga, Solo
Kontraktor : Waringin Megah, Surabaya
Sekolah ini menempati lokasi di ujung dua buah perumahan baru yang belum memiliki fasilitas pendidikan. Lahan terletak pada sebuah ketinggian kontur di atas area perumahan tadi. Apapun yang terwujud pasti akan sangat terlihat dan mau tidak mau menanggung beban menjadi landmark. Sementara itu, luas lahan yang ada sangat terbatas 3.000 m2 dibandingkan dengan program ruang yang dikehendaki. Kebutuhan yang harus dipenuhi adalah Pra TK dan TK sebanyak 6 kelas, SD sebanyak 12 kelas dan SMP sebanyak 6 kelas. Kebutuhan pendukung adalah kelas ekstra kurikuler dan laboratorium sebangyak 6 modul kelas beserta ruang guru ruang meeting dan administrasi. Dalam hal ini, membangun secara vertikal tidak mungkin untuk dihindarkan.
Ekspresi sirip-sirip vertikal pada bangunan sekolah |
Dengan besaran massa dan letak ketinggiannya, ekspresi bangunan sebaiknya sesuatu yang netral supaya tidak mendominasi lingkungan sekitar. Pola vertikal dipakai untuk 'membuang' perasaan massa yang menekan menjadi sesuatu yang tumbuh ke atas dan menggapai langit. Pola ini dipakai sebagai sirip pengarah view dan sinar matahari untuk tidak masuk secara langsung ke ruang dalam. Ketika pepohonan mulai tumbuh besar nanti, bangunan ini seolah-olah akan mempunyai energi yang sama dengan gerak tumbuh tadi. Warna bangunan dipilih mendekati warna tanah supaya tidak membuat silau dan menonjolkan diri.
Massa bangunan sekolah dilihat dari salah satu lahan perumahan |
Untuk itu, TK harus berada di lantai dasar guna mendapatkan aksesibilitas keluar secara langsung sehingga dalam keadaan darurat mudah dilakukan evakuasi. SD kelas 1,2 dan 3 yang berada di atasnya masih mendapatkan akses langsung keluar juga dari arah sebaliknya. Sementara SD kelas 4,5 dan 6 berada diatasnya lagi, beserta ruang fasilitas tambahan semacam laboratorium dan ruang ekstra kurikuler.
Konfigurasi yang sama dengan SD kelas 4, 5 dan 6 juga terjadi di ruang-ruang kelas untuk SMP. Karena lahan yang terbatas, lapangan upacara digantikan di lantai paling atas karena yang memerlukan lahan upacara adalah anak SD kelas 4,5,6 dan SMP. Dengan cara ini, anak-anak yang lebih besar saja yang akan memakai jalur-jalur sirkulasi vertikal.
Lapangan upacara kelas 4, 5, 6 dan SMP yang berada di atap bangunan |
Aksesibilitas adalah hal yang krusial dengan rancangan sekolah dengan 4 lapis lantai. Entance harus diletakkan pada tempat yang paling tepat. Entrance TK ada di bagian kontur yang lebih rendah, sedangkan entrance SD-SMP ada di sisi lain yang lebih tinggi seperti dijelaskan pada akses darurat sebelum ini. Saat ini akses masuk SD dan SMP masih cukup layak panjangnya. Sementara, di bagian TK masih terlalu pendek dari standar karena perubahan yang dilakukan saat konstruksi. Entrance ini nantinya akan berpindah saat dilakukan pengembangan sehingga mendapatkan akses antrian penjemput yang cukup.
Area Entrance untuk SD dan SMP |
Void utama yang pada awalnya dirancang sebagai ruang luar, pada akhirnya ditutup karena hujan dengan angin membuat area sirkulasi disekitarnya menjadi basah. Dengan menyisakan lubang ventilasi yang cukup, ternyata void ini bisa menjadi generator penarik udara panas. Penutupan ini sekaligus bisa menambah area bermain indoor bagi TK dan Pra-TK.
Void utama |
Sirkulasi vertikal terjadi dalam tiga buah mode. Pertama adalah tangga, kedua adalah ramp dan ketiga adalah elevator untuk barang-barang. Moda sirkulasi vertikal ini hanya akan dipakai untuk area SD kelas 4,5,6 dan SMP. Sedangkan area SD kelas 1,2,3 dan TK/Pra TK tidak memerlukan sirkulasi vertikal.
Sirkulasi ramp di void utama dan tangga di bagian depan |
Pencahayaan alami dipertimbangkan sebagai upaya penghematan biaya operasional sekolah. Ekspresi sirip vertikal mempunyai fungsi memasukkan cahaya tanpa harus memasukkan sinar secara langsung. Selain itu sirip ini juga mengurangi tingkat silau di dalam ruangan serta mengarahkan view lebih terbatas. Pada bagian yang menhadap dalam, dinding kelas tidak dibuat tinggi penuh supaya bias cahaya dari void masih membantu mencapai intensitas cahaya yang diperlukan.
Sirip-sirip vertikal pengarah view dan penghambat sinar masuk secara langsung. Kanan : Bias cahaya dari void utama |
Dalam segala keterbatasan pemanfaatan lahan, sifat puitik cahaya terhadap pembentukan kualitas ruang masih dilakukan. Matahari pagi yang masuk, dipakai sebagai bahasa menyambut kedatangan anak-anak untuk memulai kegiatan di sekolah ini. Sebuah hari baru akan dirasakan lebih bersemangat terlebih saat cuaca cerah.
Hall sekaligus area sirkulasi dan ruang serbaguna yang selalu mendapat cahaya pagi hari. |
Arsitek : Adi Purnomo
Gambar Konstruksi : Dwiatmoko (Desa Asri)
Struktur : Sentra Reka Struktur, Jakarta
M+E : Tim Tiga, Solo
Kontraktor : Waringin Megah, Surabaya
Monday, August 12, 2013
Villa Lau Kawar
Selesai 2011
Dari kota Medan melalui Brastagi, sekitar 100 km perjalanan
darat ke arah barat daya terdapat sebuah danau kecil di kaki Gunung Sinabung. Danau
yang dinamakan Lau Kawar ini terletak pada ketinggian 1500 meter di atas
permukaan laut. Dengan pemanasan global yang terjadi saat ini, suhu di Lau
Kawar ini relative masih dingin untukukuran daerah tropis. Di siang hari temperature
berkisar 20⁰C,
sedangkan di malam hari bisa mencapai rata-rata 16⁰C bahkan kadang 10⁰C.
Google Earth 2013. Kiri : Gunung Sinabung, Danau Lau Kawar dan lokasi villa. Kanan : Massa villa dibawah pepohonan |
Lepas dari Brastagi, lansekap pertanian Karo adalah wajah khas yang akan ditemui sepanjang sisa perjalanan. Puncak keindahan alam seakan terpapar begitu saja setelah disembunyikan melaui jalan berliku. Bagi yang pertama kali datang, sangat disarankan untuk sampai ketika hari sudah gelap untuk mendapatkan pemandangan yang mengejutkan di pagi harinya.
Kiri : Danau Lau Kawar dengan latar belakang sebagian dari hutan lindung Leuser. Kanan : Lokasi villa |
Bagaimana mesti memulai membuat sesuatu di tempat sebagus ini? Seperti tidak ingin membuat sesuatu di situ karena semua seperti sudah lengkap adanya. Tapak yang dipakai memakai bekas villa lama yang diperpanjang sedikit keluar dari rumpun keteduhan cemara angin.
Massa bangunan yang tersembunyi |
Dari arah bukit di atasnya, yang akan nampak hanyalah ujung
massa bangunan menyeruak dari pepohonan. Sifatnya yang tersembunyi akan menjaga
lansekap alamiah yang ada tampil sebagaimana adanya. Setting ini membuat
privasi pengguna villa lebih terjamin disamping perolehan view yang maksimal ke
arah danau. Arah ini secara kebetulan juga berorientasi terhadap datangnya
matahari pagi.
Air di tempat tinggi (Lau Sakaten) bertemu secara visual dengan air danau Lau Kawar |
Sementara itu, sebuah mata air yang telah berada di situ sejak dahulu dibiarkan sebagaimana adanya. Sebuah kolam untuk terapi air dingin diletakkan di dekatnya dengan meminjam aliran mata air tadi. Kolam ini dipakai untuk menyatukan air pada bagian atas ini secara visual bersambungan dengan air di danau. Cara yang sering dilihat di banyak tempat lain ini menjadi berarti khusus di sini karena sesuai dengan nama mata air Lau Sakaten yang berarti air di tempat tinggi.
Massa yang berada diantara lansekap, air dan pepohonan. Kanan : Teras menghadap danau |
Ada dua teras yang memanjang sebagai bagian massa bangunan. Teras yang menghadap danau relatif merupakan area yang statik dan perpanjangan dari ruang-ruang tidur dan ruang duduk. Bagian yang paling besar dan terbuka bisa digunakan untuk menyalakan api unggun. Teras yang yang ada di sisi lain merupakan area sirkulasi yang menghubungkan dapur dan tempat makan, kolam serta area perkemahan di samping barat lokasi villa.
Massa bangunan yang terjadi adalah bagian dari keseluruhan
realitas air, pepohonan, dan cahaya yang bergerak. Ia terjadi dari sesuatu yang
ringan dan atau menangkap gejala alam yang bersentuhan dengannya. Bahan yang
pertama kali digunakan adalah batu-batu yang berada dalam lahan. Batu ini digunakan
sebagai struktur bawah dan dinding yang masif. Gejala alam yang terjadi adalah
tumbuhnya lumut dan organisme lainnya di bagian permukaan.
Atap yang menangkap panas siang hari |
Bahan-bahan yang didatangkan dari luar lokasi sebisa mungkin
yang ringan atau yang mampu dipakai sebagai alat menangkap gejala alam. Besi
siku dipakai sebagai struktur atas. Kaca untuk dinding atau pintu jendela yang
membutuhkan transparansi hubungan luar dan dalam bangunan. Kain dan tirai untuk
penghangat dan pelunak bahan-bahan yang dingin dan keras. Pantulan pepohonan
pada kaca membantu bangunan untuk lebih membaur dengan sekitarnya.
Atap yang menangkap gejala alam |
Bagian terpenting dalam bangunan ini adalah atap. Atap
dipakai sebagai penangkap gejala alam yang paling dominan membentuk kualitas
ruang dibawahnya. Selain untuk menangkap panas sepanjang hari, atap fiber
gelombang sekaligus menangkap bayang pepohonan serta daun cemara kering. Gerak
angin yang tertangkap dari bayangan pohon, gerak matahari dari pagi sampai
sore, gerak daun yang bergerak di permukaan atap adalah sebagian dari gejala
alam yang terekam dalam ruang di bawahnya. Arsitektur mendudukkan dirinya
sebagai latar atau kanvas dari alam sekelilingnya.
Rekaman gerak perubahan cahaya, pantulan, material pada atap pada dasarnya mengambil dari realitas yang ada |
Arsitek : Adi Purnomo
Tanah Teduh #4
Selesai 2013
Tanah Teduh adalah semacam kawasan perumahan yang master plan
beserta seluruh rancangan ruang-ruangnya dilakukan oleh arsitek Andra Matin.
Sembilan arsitek lain kemudian diberi kesempatan untuk terlibat dengan
merancang satu rumah masng-masing. Kebetulan saya adalah salah satu yang
diantara yang diundang untuk terlibat dan mendapatkan merancang unit #4. Brief
dari rancangan kawasan ini ada pada seputar persoalan ‘green building’ atau
rancangan yang ramah lingkungan.
Kompleks Tanah Teduh yang tertangkap Google Earth Februari 2012 dan Tanah Teduh #4 |
Tidak berani membayangkan sebelumnya bahwa konsepsi ini akan
terbangun. Dan lebih tidak menangka llagi ada yang mau membeli unit ini dari developer yang
membangunnya. Bagaimana tidak – setelah melalui proses tarik ulur yang lebih
dari sepuluh skema, pada akhirnya bangunan kayu ini memperoleh sebuah titik
temu. Di masa sekarang, menghindari bangunan kayu adalah hal yang sangat wajar.
Persoalan keawetan, harga bangunan, bahaya rayap dan kebakaran, serta
pertanyaan-pertanyaan praktis yang lain adalah hal yang akan segera terlontar.
Pertanyaan paling besar di awal proses perancangan adalah : Apakah penggunaan
kayu merupakan tindakan ramah lingkungan?
Tetangga di kiri dan kanan terpaksa terlihat kontras karena konsepsi penggunaan bahan kayu ini. |
Persoalan penggunaan kayu pada ujungnya adalah persoalan pengelolaan
sumbernya yaitu hutan. Berdasarkan data volume hutan produksi yang ada di
Indonesia, kebutuhan perumahan sebesar 700.000 unit setiap tahun, ternyata bisa dipenuhi dengan hutan yang
berkelanjutan dalam hutan produksi tadi. Sedangkan dari sudut pandang enerji
terkandung material, kayu memiliki enerji terkandung kurang dari separuh
material beton, kurang dari sepertiga material bata, dan kurang dari 1%
material baja. Disamping itu kayu adalah material yang bisa diperbarui sumbernya.
Dari sini bisa dibayangkan penghematan emisi CO2 yang dikeluarkan akibat
pemilihan bahan bangunan. Jika saja teknologi pengolahan bahan sudah mencapai
tataran tertentu yang bisa menjadikan kayu awet dan mempunyai struktur kekuatan
yang lebih homogen, bukan sekedar mimpi jika kayu akan menjadi material masa
depan – bukan masa lalu.
Dalam kerangka inilah konsepsi Tanah Teduh #4 diajukan. Akan
tetapi material kayu yang diusulkan bukanlah kayu dari hutan produksi mengingat
dalam hal ini Negara kita masih harus membenahi tata kelola hutan terlebih
dahulu. Kayu yang diusulkan adalah kayu non hutan yaitu kayu perkebunan dan
kayu bekas. Kayu bekas tidak bisa sepenuhnya kita andalkan kecuali kayu-kayu
yang memang tahan air dan mampu berusia ratusan tahun seperti kayu ulin
misalnya. Kendalanya adalah sumbernya sangat terbatas. Sedangkan kayu
perkebunan mempunyai peluang yang cukup besar untuk dilihat mengingat
perkebunan selalu membutuhkan peremajaan untuk pohon-pohon yang tidak
produktif lagi. Luas perkebunan kelapa
dan karet di Indonesia adalah yang
paling besar di dunia sampai dengan saat ini.
View dari arah masuk ke Unit #4 |
Usulan pertama Tanah Teduh #4 adalah bangunan dari kayu
kelapa yang segera saja ditolak. Mulailah proses tarik ulur yang panjang dengan
mengganti material yang sudah dijadikan standar di kawsan Tanah Teduh yaitu
bata dan beton. Berbagai skema dicoba akan tetapi saya tidak cukup merasa puas
karena isu kayu ini adalah hal yang cukup penting untuk diibicarakan. Akhirnya
tanpa di sengaja ditemui sebuah dermaga dari kayu ulin di Samarinda yang sedang
dibongkar. Dari sinilah usulan penggunaan kayu bisa diterima. Dengan sebuah
pelelangan yang resmi, diperolehlah sejumlah kayu yang diperkirakan cukup untuk
memenuhi kebutuhan. Kayu bekas dermaga ini dipakai sebagai struktur bangunan
tiga lantai beserta kulit luarnya.
Konstruksi rumah kayu tiga lantai adalah hal yang biasa
terjadi di Samarinda dan kota-kota Kalimantan lainnya. Akan tetapi, rumah-rumah
ini sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan rumah bata dan beton. Hal ini entah
dikarenakan sumber kayu untuk bangunan sudah tidak ada lagi atau rumah kayu
bukanlah suatu simbol kemodernan. Dalam arah yang sebaliknya, Tanah Teduh #4
sedang berusaha membicarakan bahwa peluang masa depan adalah apa yang telah
dianggap masa lalu.
Kontras material interior kayu karet dan struktur kayu ulin bekas dermaga |
Penampilan kayu ulin yang kasar ini tidaklah cukup nyaman
secara psikologis maupun fungsional jika dipertemukan dengan pengguna orang
kota dan peralatan rumah tangga yang baru. Untuk itu sebagai interior
diperlukan suatu material yang lebih halus. Kebetulan kayu karet olahan adalah
bahan yang tidak bisa dipakai sebagai eksterior. Pemakaian kayu karet sebagai
interior akan memberikan kontras yang semakin menguatkan karakteristik kayu
masing-masing.
Secara singkat, proyek Tanah Teduh #4 ini berusaha
memberikan sebuah gambaran tentang betapa kaya alam Indonesia. Apabila
pengelolaan dilakukan dengan baik dan adil, niscaya kata ‘ramah lingkungan’ atau
‘green’ yang sering kita dengan akhir-akhir ini bukanlah menjadi jargon atau
gimmick semata. Sedangkan arsitektur bisa mengambil peran sebagai alat untuk
menyambut suatu visi yang jauh di depan. Proyek ini hanyalah sebuah provokasi
atau ajakan untuk penelitian lebih jauh terhadap material kayu sebagai alternative
masa depan material bangunan di Indonesia.
Tangga kayu karet yang diletakkan pada posisi selalu bisa melihat eksterior rumah sebelum masuk kembali ke dalam |
Arsitek : Adi Purnomo
Team : Dani Wicaksono (skema awal sampai ke sepuluh)
Tuesday, May 8, 2012
Rumah Tamu Banyuwangi
Selesai 2012
Rumah Tamu Banyuwangi ini merupakan bagian dari rencana renovasi keseluruhan kompleks Pendopo Kabupaten Banyuwangi. Bagian ini dirancang dengan memanfaatkan denah dan tapak bangunan lama serta menggantikan atap genteng lama menjadi lansekap rumput. Ada tiga alasan utama pemakaian atap rumput ini. Pertama adalah sebagai alternatif menambah ruang hijau kota karena kompleks Pendopo akan menjadi taman publik pada hari libur dan hari-hari tertentu. Kedua adalah alasan strategi pemisahan ruang privat dan publik bagi para tamu ketika halaman sedang dibuka untuk umum. Sedangkan yang ketiga adalah alasan yang paling sering dilakukan yaitu membuat kondisi udara dalam bangunan menjadi lebih dingin dan menghindarkan pantulan radiasi atap bagi lingkungan disekitarnya.
Rumah Tamu Banyuwangi ini merupakan bagian dari rencana renovasi keseluruhan kompleks Pendopo Kabupaten Banyuwangi. Bagian ini dirancang dengan memanfaatkan denah dan tapak bangunan lama serta menggantikan atap genteng lama menjadi lansekap rumput. Ada tiga alasan utama pemakaian atap rumput ini. Pertama adalah sebagai alternatif menambah ruang hijau kota karena kompleks Pendopo akan menjadi taman publik pada hari libur dan hari-hari tertentu. Kedua adalah alasan strategi pemisahan ruang privat dan publik bagi para tamu ketika halaman sedang dibuka untuk umum. Sedangkan yang ketiga adalah alasan yang paling sering dilakukan yaitu membuat kondisi udara dalam bangunan menjadi lebih dingin dan menghindarkan pantulan radiasi atap bagi lingkungan disekitarnya.
Google Earth 2011 Google Earth 2013 |
Citra satelit yang diperoleh dari Google Earth
memperlihatkan bahwa setelah renovasi dilakukan dengan memakai atap rumput,
tutupan ruang hijau dalam kompleks Pendopo menjadi bertambah. Sedangkan sebagai
sebuah pengalaman ruang, halaman dalam kompleks ini berubah menjadi taman
rumput sewaktu-waktu dipakai umum. Orientasi kamar-kamar yang menghadap
belakang ke halaman privat menjamin privasi Rumah Tamu ini terjaga. Ujung bawah
gundukan ini merupakan tempat pengumpulan air hujan di bawah lapisan rumput.
Sebelum Sesudah |
Sebelum Sesudah |
Sebelum Sesudah |
Pencahayaan ruang dalam dan kamar-kamar tidak memerlukan
lampu tambahan pada siang hari. Hal ini bisa terjadi karena adanya skylight
yang terekspresi sebagai tumpukan batu pada bidang rumput yang miring.
Penggunaan warna dinding untuk interior yang dominan dengan warna putih
menjamin tingkat intensitas cahaya yang memadai untuk kegiatan-kegiatan di
dalam ruangan.
Material yang digunakan kebanyakan merupakan bahan-bahan
sederhana dan relatif mudah didapatkan di Banyuwangi. Berbeda dengan dominasi
putih di dalam ruangan, dinding terbuka di bagian luar dilapisi dengan batu
lokal supaya tidak menyilaukan mata dan membantu menghambat radiasi ke dalam
saat cahaya matahari terik.
Sebagai bagian dari keseluruhan, Rumah Tamu ini adalah sebuah
gubahan yang tidak ingin bersaing dengan bangunan-bangunan lain dalam kompleks
Pendopo. Kesederhanaan adalah pesan utama yang hendak disampaikan, berbeda
dengan semangat untuk membuat hal-hal menjadi mewah di dalam banyak bangunan
baru akhir-akhir ini. Seperti halnya sebuah oasis di kota kecil yang jauh dari
hiruk pikuk dan gemerlap kota besar. Rumah Tamu Banyuwangi ini adalah ekspresi
sebuah kerinduan akan tempat yang member keteduhan lahiriah dan batiniah.
Arsitek : Adi Purnomo
Tim Disain : Heru Heryadi, Raditya Mohammad
Pengembangan Gambar Konstruksi : Studio Mahati
Pengembangan Gambar Konstruksi : Studio Mahati
Subscribe to:
Posts (Atom)